Dijadikankeadilan sebagai prinsip politik Islam, maka mengandung suatu konsekuensi bahwa para penguasa atau penyelenggara pemerintahan harus melaksanakan tugasnya dengan baik dan juga berlaku adil terhadap suatu perkara yang dihadapi, penguasa haruslah adil dan mempertimbangkan beberapa hak warganya dan juga mempertimbangkan kebebasan berbuat bagi warganya berdasarkan kewajiban yang telah
Keadilanitu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus - 7147177 ayucantik2 ayucantik2 02.09.2016 Bahasa lain Sekolah Menengah Pertama terjawab Keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus 1 Lihat jawaban Iklan
1 Ali imran (3):19. 2. Al-Maidah (5):3. Menurut etimologi, Islam berasal dari bahasa Arab diambil dari asal kata salima yang berarti selamat sentosa dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.
Ciripokok keenam masyarakat Islam adalah keadilan dan menegakkan keadilan 2. Ciri pokok ketujuh adalah keseimbangan Yang disebutkan di atas adalah beberapa ciri pokok sering juga di sebut sendi-sendi pokok masyarakat Islam yang ideal yang ditentukan Allah dan di jelaskan Nabi-Nya. Agar memiliki kekuatan yang cukup, maka kontrol itu harus
Keadilanitu sendiri adalah sendi pokok ajaran Islam yang harus - 12166683 bagus744 bagus744 12.09.2017 B. Arab Sekolah Menengah Atas terjawab Keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran Islam yang harus 1 Lihat jawaban Iklan
IlmuTauhid adalah Pokok Ajaran Mengesakan Allah SWT. Ilmu tauhid yang berisi ajaran mengesakan Allah SWT sendiri terbagi menjadi tiga macam kajian. Yakni sebagai berikut: Tauhid Rububiyah. Kajian ini menjelaskan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya tuhan yang maha pencipta atau maha menciptakan, maha memiliki, maha mengatur dan maha berkehendak.
Keadilanmerupakan salah satu ajaran pokok Islam yang terlupakan dalam hidup dan kehidupan. Keadilan merupakan salah satu ajaran Islam yang banyak dilupakan oleh para pemeluk Islam sendiri. Keadilan dalam budaya atau etika Jawa menempati sendi penting dalam interaksi sosial, hal itu terlihat dalam ungkapan 'aja mban cindhe mban siladan
jSuib. Oleh PROF KH DIDIN HAFIDHUDDINOLEH PROF KH DIDIN HAFIDHUDDIN Sebagaimana telah sama-sama diketahui bahwa hampir seluruh khatib Jumat pada setiap khutbah yang kedua, setelah membaca shalawat dan doa, selalu membaca satu ayat yang terdapat di dalam Alquran, surah An-Nahl 16 ayat 90 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Meskipun membaca ayat tersebut bukan syarat dan bukan pula rukun khutbah artinya tidak membaca pun tidak menyebabkan tidak sahnya khutbah, semua jamaah diingatkan minimal setiap Jumat untuk memahami, menadaburi, bahkan juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ayat tersebut, menurut Abdullah bin Mas'ud, pakar tafsir sahabi, ayat yang mengandung tiga perintah utama, yang menjadi sumber kebaikan dan kemaslahatan. Sekaligus ayat tersebut mengandung tiga larangan utama yang harus dijauhi oleh setiap Muslim agar tidak terjerembab pada kehancuran dan pada kenistaan. Banyak perintah di dalam Alquran maupun hadis Nabi untuk menegakkan keadilan dalam bidang hukum. Bahkan, terhadap musuh sekalipun yang kita benci. Tiga perintah utama Dalam ayat tersebut tadi QS an-Nahl [16] ayat 90 ada tiga perintah utama yang harus dijadikan sebagai rujukan di dalam menata kehidupan. Pertama, perintah untuk menegakkan keadilan dalam semua sendi kehidupan. Keadilan dalam penegakan hukum, keadilan dalam bidang ekonomi, dan lain-lain. Banyak perintah di dalam Alquran maupun hadis Nabi untuk menegakkan keadilan dalam bidang hukum. Bahkan, terhadap musuh sekalipun yang kita benci, kita tetap diperintahkan untuk menegakkan keadilan. Firman-Nya dalam QS al-Maidah 5 ayat 8 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Ketika ada kasus hukum yang berkaitan dengan diri kita, kedua orang tua dan kerabat kita, keadilan harus tetap ditegakkan. Firman-Nya dalam surah an-Nisaa 4 ayat 135 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” Di zaman Rasulullah SAW, seperti diberitakan dalam hadis sahih riwayat Imam Bukhari-Muslim, pernah terjadi kasus pencurian korupsi yang dilakukan oleh seorang wanita dari bani Makhzumiyyah suku bangsa yang dianggap elite di kalangan bangsa Arab ketika itu dan para sahabat enggan menerapkan hukuman kepadanya. Dari hadis tersebut bisa diambil pelajaran yang berharga bahwa kehancuran suatu bangsa bukan semata-mata karena kefakiran dan kemiskinan, akan tetapi karena diskriminatif dalam penegakan hukum. Lalu, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabatnya sambil bersabda "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya hancurnya bangsa-bangsa sebelum kamu sekalian karena tindakan diskriminatif dalam penegakan hukum. Jika yang mencuri itu dari kalangan Syarif orang-orang yang dianggap mulia mereka enggan menegakkan hukum. Tetapi, jika yang mencuri itu dari kalangan dhaif orang lemah, rakyat jelata mereka cepat menerapkan hukumannya. Demi Allah, andaikan Fatimah anakku sendiri yang mencuri maka aku akan potong tangannya dengan tanganku sendiri.” Dari hadis tersebut bisa diambil pelajaran yang berharga bahwa kehancuran suatu bangsa bukan semata-mata karena kefakiran dan kemiskinan, akan tetapi karena diskriminatif dalam penegakan hukum. Hilangnya rasa keadilan sence of justice dan secara empirik sekaligus peristiwa itu menggambarkan bahwa Islam itu adalah agama keadilan, baik secara ajaran maupun dalam implementasinya. Pada saat ini kita merasakan ketidakadilan terjadi dalam berbagai bidang dan ini sangat membahayakan terhadap masa depan bangsa dan negara. Karena itu, kita semua wajib meluruskan kembali arah dari penegakan keadilan agar sejalan dengan cita-cita bangsa dan negara. Membiarkan perlakuan diskriminatif dalam penegakan hukum sama dengan membiarkan kehancuran dan kerusakan bangsa serta negara. Perintah kedua dari QS an-Nahl 16 ayat 90 itu adalah berbuat ihsan, berbuat kebajikan secara maksimal dalam segala bidang sesuai dengan keahlian kita. Allah SWT akan menilai amaliah seseorang itu karena ihsannya, bukan banyak atau sedikitnya. Allah SWT berfirman dalam QS al-Mulk 67 ayat 2 yang artinya “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik ihsan amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” Umat ini akan menjadi kuat ketika kolaborasi dan sinergi terbangun dengan baik. Sebaliknya, akan menjadi lemah ketika tidak terdapat sinergi dan kerja sama. Kita berharap umat memiliki berbagai keahlian yang dibutuhkan oleh masyarakat dan diimplementasikan secara maksimal dan optimal, sehingga akan dirasakan bahwa umat Islam itu adalah umat yang terbaik QS Ali Imran [3] ayat 110. Perintah ketiga adalah menguatkan hubungan kekerabatan dan persaudaraan. Saling tolong-menolong, saling membantu satu dengan lainnya, saling berkolaborasi dan saling bersinergi dalam berbagai bidang kehidupan atas dasar iman dan takwa. Firman-Nya dalam QS al-Maidah 5 ayat 2 “… Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Umat ini akan menjadi kuat ketika kolaborasi dan sinergi terbangun dengan baik. Sebaliknya, akan menjadi lemah ketika tidak terdapat sinergi dan kerja sama. Tiga larangan utama Di samping tiga perintah utama, dalam QS an-Nahl 16 ayat 90 ini terdapat tiga larangan utama yang harus dijauhi karena akan menghancurkan tatanan kehidupan. Pertama, dilarang berbuat fahsyaa, dosa besar yang menjijikkan dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti perzinaan, perjudian, minuman keras, dan perbuatan buruk lainnya. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Thabrani, Rasulullah SAW menjelaskan tentang buruknya perbuatan zina. Rasulullah SAW bersabda ayng diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari Ibn Abbas “Jauhilah oleh kalian perbuatan zina karena perbuatan zina akan menyebabkan empat permasalahan kecelakaan menghilangkan keelokan wajah wajah tidak berseri-seri, terputusnya rezeki mengakibatkan kefakiran, mengakibatkan kemurkaan Allah, dan mengakibatkan kekal di dalam neraka.” Kedua, dilarang berbuat mungkar yang merusak tatanan kehidupan kemanusiaan, seperti membunuh seseorang atau sekelompok orang tanpa alasan. Perbuatan ini termasuk kejahatan besar yang akan mendapatkan balasan dari Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam lintasan sejarah yang digambarkan Alquran, semua pemimpin yang zalim kepada rakyatnya berujung pada kehancuran. Firman-Nya dalam QS an-Nisaa’ 4 ayat 93 “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” Dalam hukum dunia harus dikenakan hukum qishash sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Baqarah 2 ayat 178-179. Ketiga, larangan al-baghyu, yaitu berlaku zalim kepada sesama. Kezaliman akan mengundang murka dari Allah SWT dan hilangnya keberkahan di dalam kehidupan di dunia. Jika seorang pemimpin berlaku zalim kepada masyarakatnya maka akan langsung berhadapan dengan azab dari Allah SWT. Hanya tinggal menunggu waktunya. Dalam lintasan sejarah yang digambarkan Alquran, semua pemimpin yang zalim kepada rakyatnya berujung pada kehancuran. Contohnya Fir’aun yang mengadu domba sesama rakyatnya dan membunuh bayi laki-laki hanya karena mengikuti ramalan dari para tukang sihirnya agar anak laki-laki tersebut jika sudah dewasa tidak merebut kekuasaannya, tetapi akhirnya Fir’aun dan sekutunya ditenggelamkan dan dihancurkan oleh Allah SWT. Kita berharap mudah-mudahan masyarakat dan bangsa kita serta para pemimpin bangsa kita dijauhkan dari sifat-sifat buruk, terutama perilaku zalim karena hanya akan membawa kehancuran dan kerusakan. Wallahu a’lam bi ash-Shawab.
Melihat tema seminar nasional ini, “Mewujudkan Penegakan Hukum dan Penyelenggaraan Peradilan Tipikor Berperikemanusiaan dan Berperikeadilan”, yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia UII Yogyakarta, mungkin ada yang bertanya, Apakah itu berarti bahwa penegakan hukum dan penyelenggaraan peradilan tindak pidana korupsi selama ini tidak, atau kurang, berperikemanusiaan dan berperikeadilan? Tema ini memang sengaja dipilih untuk didiskusikan secara ilmiah karena meskipun secara teori, penyelenggaraan peradilan Tipikor dianggap sebagai upaya menegakkan hukum, namun faktanya adalah masih banyak keluhan dalam masyarakat tentang ketidakadilan dalam berbagai bentuk yang ditemukan dalam proses penegakan hukum dimaksud. Kasus-kasus yang kita temukan dari putusan-putusan Pengadilan Tipikor, yang berasal dari tuntutan jaksa, itu sering memaknai peran atau proses peradilan sebagai proses yang hanya bertumpu pada kepastian. Padahal sebetulnya yang dituju adalah agar putusan itu harus bernilai keadilan. Bagaimana agar putusan Pengadilan Tipikor itu bisa bernilai keadilan? Setidaknya harus diukur dengan tigal hal. Pertama, diukur dengan al-adil yaitu perilaku. Saya kebetulan juga seorang advokat. Ketika saya berpraktik di pengadilan, maka sering saya alami bahwa penegak keadilan tidak mamaknai al-adil atau perilaku. Kecenderungannya adalah, yang namanya advokat itu diperlakukan tidak sama dengan jaksa. Kadang-kadang kita dibentak. Tapi terhadap jaksa, hakim tersenyum-senyum saja, meskipun itu salah. Sering saya menghadapi hal semacam itu. Kenapa bisa seperti itu? Karena hakim tidak memahami konsep al-adil. Dalam proses peradilan, prinsip al-adil ini sering tidak digunakan. Karena al-adil itu tentang perilaku, maka perilaku pengadil harus juga adil. Bagaimana mungkin kita mengadili orang lain tetapi perilaku kita sendiri tidak adil? Karena al-adil itu tentang perilaku, maka kalau hakim berperilaku baik terhadap jaksa, seharusnya hakim berperilaku baik juga terhadap terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukum; bukan malah sebaliknya. Saya mempunyai pengalaman menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Ada saksi di persidangan yang ketika dikonfrontir dengan alat bukti, ternyata tak cocok. Saksi itu sebetulnya sudah mengirim surat, dan di suratnya itu ada nomor, ada perihal, ada lampiran. Ternyata ketahuan di persidangan bahwa lampiran itu sudah dicoret. Pasti semua sepakat bahwa apabila lampiran surat dicoret, maka hal itu berarti bahwa surat itu tidak mempunyai lampiran. Itu menurut pemahaman hukum dan administrasi. Tapi ternyata saksi katakan dia sudah melampirkan bukti-bukti sekitar 100 lembar tapi lampirannya dicoret, artinya dihilangkan. Lalu, saya meminta kepada saksi untuk menunjukkan surat aslinya. Saya tanya, apa maknanya ketika bapak menulis surat dan lampiran dicoret. Saksi itu tak bisa menjawab. Karena saksi diam saja, saya terus mendesak saksi untuk memberikan keterangan apa makna lampiran dalam surat. Ternyata, justru hakim membentak saya dan katakan, “Saudara tidak perlu memaksa.” Apa sebabnya hakim bersikap demikian? Karena dia tidak mengerti bahwa keadilan yang dimaksud itu adalah al-adil atau perilaku adil. Hal seperti ini sering saya alami ketika berpraktik di pengadilan. Yang kedua adalah al-mizan yaitu alat timbangan atau hukumnya. Kalau hukum yang digunakan itu tidak benar, maka hasilnya pasti salah. Kalau pasal dakwaan yang digunakan itu salah, berarti di situ ada kesalahan yang nyata, sehingga pasti hasilnya salah juga. Ketika mengajar mahasiswa S1, saya selalu menggunakan perumpamaan begini Al-mizan itu adalah alat yang digunakan. Kalau saya datang ke toko emas membeli emas satu gram, tapi toko emas memakai timbangan beras untuk mengukurnya, maka pasti hasilnya keliru. Begitu pun sebaliknya. Kalau saya ke toko beras membeli beras satu kilogram, lalu toko beras itu menggunakan timbangan emas, maka pasti hasilnya jelas tak akan bagus. Itulah yang saya maksudkan bahwa sebenarnya al-adil dan al-mizan itu harus sejalan. Kalau kepastian hukum itu selalu bicara alat, maka alatnya harus benar. Kalau alatnya sudah tidak benar, maka meskipun dipaksakan akan salah. Kalau dipaksakan untuk menghukum orang dengan alat atau aturan yang tidak benar, maka pasti hasilnya tidak benar pula. Kalau sudah tak benar, maka pasti tak adil. Kalau tak adil, maka tak akan bisa sesuai dengan ajaran Islam tentang keadilan. Yang digunakan sekarang adalah teori tentang kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Tapi jika tidak ditemukan keadilan di satu tempat, maka harus mencari keadilan di tempat lain. Artinya, bukan semata-mata kepastian hukumnya yang harus dikejar, tapi tetap harus mengutamakan keadilan. Itulah konsep Islam yang harus senantiasa diberikan kepada para penegak hukum, seperti yang diuraikan dalam Surat An Nisa ayat 58 dan 135. Ukuran ketiga yang perlu diperhatikan dalam menegakkan keadilan adalah aspek kemanfaatan. Hukuman yang diberikan harus bisa membawa manfaat, baik bagi orang yang dihukum, maupun bagi masyarakat sebagai pembelajaran. Hukuman yang tidak membawa manfaat, tetapi hanya menyengsarakan orang adalah hukuman yang tak berguna. Sebab tujuan berhukum itu sebetulnya bukan untuk menyengsarakan orang, tetapi menciptakan keteraturan dan kemanfaatan bagi manusia. Tiga standar atau ukuran keadilan menurut ajaran Islam yang diuraikan di atas ternyata belum dipahami dengan baik oleh para pengadil yang begitu bangga dengan predikat “penegak hukum” tetapi belum mampu menciptakan rasa keadilan masyarakat dalam proses-proses persidangan, termasuk untuk kasus-kasus korupsi. Sesuai ajaran Islam seperti yang saya sebutkan di atas, tiga ukuran keadilan tersebut yaitu al-adil, al-mizan, dan kemanfaatan seharusnya sudah lama ditegakkan dalam semua kasus yang ditangani oleh pengadilan di negara yang mayoritas penduduknya, termasuk para jaksa dan hakim, beragama Islam. Ketidakpedulian para penegak hukum untuk menerapkan tiga ukuran keadilan dimaksud tentu sangat memprihatinkan. Itulah sebabnya ketika memberikan pendapat hukum dalam focus group discussion September silam tentang kasus mantan Ketua DPD RI Irman Gusman, saya kemukakan bahwa apabila jaksa salah memilih mizan, salah memilih pasal dakwaan, kemudian hakim pun tidak menggali kebenaran tetapi hanya mengikuti alur pikiran jaksa, maka hasilnya menjadi tidak sesuai dengan prinsip al-adil, al-mizan, dan juga prinsip kemanfaatan dari putusan perkara dimaksud. Dalam kasus Irman Gusman, tampaknya jaksa dan hakim juga tidak menoleh ke aspek kemanfaatan dari upaya Irman untuk meringankan beban hidup masyarakat Sumatera Barat yang saat itu mengeluhkan harga gula yang tinggi. Pengadilan hanya melihat dimana ada hal-hal yang bisa dijadikan alasan tekstual-yuridis untuk menghukum orang, tetapi gagal melihat aspek kemanfaatannya. Jaksa dan hakim juga gagal menyadari ukuran perilaku adil dan timbangan atau al-mizan itu, padahal mereka itu pun beragama Islam dan bukan tidak mengerti tentang adanya konsep Islam tentang ukuran-ukuran keadilan tersebut. Ironisnya, putusan pengadilan selalu diawali dengan slogan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa! Ironi-ironi semacam ini lazim terjadi di berbagai proses peradilan, dimana jaksa dan hakim hanya menggunakan kacamata kuda untuk menghukum orang, tetapi tidak berani menggunakan hati nuraninya untuk menegakkan keadilan sesuai ajaran agama. Penegak hukum begitu bergairah mengejar kepastian hukum, tapi banyak yang tidak menyadari bahwa mereka hanya menjadi penegak undang-undang dan gagal menjadi pencipta keadilan sebagaimana diamanatkan oleh ajaran agama. Ketika para pengadil hanya mendefinisikan tugasnya sebagai penegak undang-undang dan bukan pencipta dan penegak keadilan juga, maka sangat sulit untuk menghadirkan keadilan dalam proses-proses penegakan hukum. Padahal harapan masyarakat yang mayoritas beragama Islam ini tentunya adalah agar Pengadilan—sesuai nama yang disandangnya—dapat menghadirkan keadilan dalam semua kasus yang ditanganinya, bukan malah menjauhkan rasa keadilan dalam proses-proses penegakan hukum. Sebab keadilan yang sesungguhnya tidak datang dari teks-teks hukum buatan manusia yang hanya bisa menghukum orang, bahkan secara kejam, tetapi datang dari ajaran agama yang yang luhur dan mulia nilainya, yang seharusnya ditegakkan di atas hukum-hukum buatan manusia. Kenapa kita tidak mempunyai keberanian untuk menegakkan ajaran agama tentang keadilan seperti diuraikan di atas? Kenapa kita meminjam nama Tuhan dalam setiap amar putusan Pengadilan, tetapi gagal menerapkan ajaran-Nya dalam penegakan hukum? Padalah di negeri ini tak ada orang yang akan membantah bahwa hukum Tuhan jauh lebih tinggi daripada hukum apa pun yang dibuat oleh manusia. Bukankah slogan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti menggunakan ukuran Tuhan seperti disebutkan di atas dalam mengadili perkara? Intinya, para jaksa dan hakim sebagai penegak hukum harus pula menjadi penegak keadilan yang menghayati dan menjalankan konsep keadilan sesuai ajaran agama; dan tidak sekadar menjalankan tugas-tugas profesinya, tapi dalam prosesnya selalu mengabaikan ajaran agama. Tapi hanya para pengadil atau penegak hukum yang mendapat hidayah ilahi yang akan memahami tentang tugas mulianya sebagai wakil Tuhan di negeri ini untuk menghadirkan keadilan sesuai ajaran-Nya, dan tidak sekadar menjalankan profesinya sesuai pikiran manusia yang amat terbatas, apalagi bila ditunggangi berbagai kepentingan yang berlawanan dengan ajaran agama. Tulisan ini sudah diterbitkan dalam media online prestasiindonesia
Adil artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Maksudnya ialah tidak memihak antara yang satu dengan yang lain. Menurut istilah, adil adalah menetapkan suatu kebenaran terhadap dua masalah atau bebepara masalah untuk dipecahkan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama. Dengan demikian keadilan berarti bertindak atas dasar kebenaran, bukan mengikuti kehendak hawa nafsu, Firman Allah dala QS. Artinya "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia. Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan." QS. An-Nisa ; 135 Maksud dari berlaku adil berarti, memutuskan suatu perkara disesuaikan dengan amal perbuatan seseorang tanpa memandang rakyat atau pejabat, miskin tau kaya siapa yang bersalah harus dihukum. Karena Allah SWT yang maha adil membebani hukum kepada hamba-Nya disesuaikan dengan di dalam menjatuhi atau memutuskan hukuman desisuaikan dengan apa yang pernah diperbuatnya. Prhatikan firman Allah. Artinya “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,dan bahwasanya kepada Tuhamulah kesudahan segala sesuatu”. QS. An-Najm 39 – 42 Berdasarkan ayat di atas, dapat diambil pelajaran bahwa Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk menegakkan keadilan walaupun terhadap ibu, bapak, kaum kerabat, bahkan terhadap dirinya sendiri. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman Artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. QS. An-Nisa 58 Sebagai pemimpin dan hakim, Rasulullah menegakka keadilan dengan sebaik-baiknya. Hal ini beliau mencontohkan dalam haditsnya yang artinya ”Jika sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akupotong tangannya “ Didalam hadits yang lain beliau beersabda yang artinya ”Sesungguhnya Allah beserta para hakim selama hikim itu tidak curang, apabila ia telah curang Allah pun menjauh dari hakim itu mulailahsetan menjadi teman yang erat bagi hakim itu” HR. At- Turmudzi Dari keterangan ayat-ayat dan hadits diatas, jalaslah bahwa keadilan merupakan sendi pokok ajaran Islam yang harus ditegakkan. Dengan ditegakkannya keadilan dlam segala hal, akan menjamin segala urusan menjadi lancar. Sebaliknya, apabila keadilan dikesampingkan dan diabaikan akan berkibat perpecahan dan kehancuran di kalangan umat. Apakah manfaat dan keutamaan dari orang yang berlaku adil, jawabnya itu a. Membuat orang disenangi sesamanya b. Memberi ketenangan dan ketenteraman hidup c. Mendatangkan ridla dari Allah karena telah mengerjakan perintah-Nya d. Mendapatkam pahala di akhirat kelak, dan e. Meningkatkan semangat kerja Macam-macam perilaku adil Barlaku adil dapat diklasifikasikan kepadai 4 bagian yaitu 1. Barlaku adil kepada Allah SWT, yakni menjadikan Allah satu-satunya Tuhan yang memiliki kesempurnaan, Kita sebagai makhluknya harus senantiasa tunduk dan patuh pada perintah-Nya dan menjuhi larangan-Nya 2. Berlaku adil terhadap diri sendiri, yakni menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan benar. Diri kita harus terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan, tidak menganiaya diri sendiri dengan menuruti hawa nafsu yang skibatnya dapat mencelakakan diri sendiri. 3. Berlaku adil terhadap orang lain, yakni menempatkan orang lain pada tempat dan perilaku yang sesuai, layak, benar memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain. 4. Berlaku adil terhadap makhluq lain, yakni memberlakukan makhluq Allah SWT yang lain dengan layak dan sesuai dengan syariat Islam dan menjaga kelestarian dengan merawat dan menjaga kelangsungan dengan tidak merusaknya.
keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus